Ilustrasi

Oleh: Dr. Mohammad Nasih
Pengasuh Pondok Pesantren dan Sekolah Alam Planet NUFO (Nurul Furqon) Mlagen Rembang, Pengajar di FISIP UMJ dan Pascasarjana Ilmu Politik UI.

Kekuasaan politik adalah kewenangan untuk membuat kebijakan yang bisa digunakan untuk mengikat seluruh warga negara. Karena berupa kewenangan, maka kekuasaan politik bisa diibaratkan sebagai pisau dapur. Ia bisa digunakan untuk melakukan kerja-kerja yang bermanfaat, terutama untuk menyelesaikan urusan dapur. Namun, jangan salah sangka, pisau dapur bisa digunakan oleh perampok untuk menakut-nakuti, bahkan membunuh siapa saja yang dianggap sebagai penghalang maksud jahatnya. Jadi, manfaat dan madlarrat pisau dapur tergantung siapa pemegangnya.

Demikian pulalah politik. Di tangan orang-orang yang baik dan sekaligus memiliki ketrampilan khusus untuk berstrategi, kekuasaan politik akan menghadirkan manfaat. Sebaliknya, di tangan para mafia jahat, kekuasaan politik hanya akan dijadikan sebagai alat untuk memenuhi hasrat menguasai segala yang mereka ingin demi kemewahan dunia. Tak peduli, tindakan itu menyebabkan banyak rakyat menderita, tak punya masa depan, dan bahkan binasa. Mereka tak peduli negara rugi berapa pun nilainya, yang penting mereka mendapatkan keuntungan walaupun tidak begitu besar, yang jika dibandingkan dengan kerugian negara tidak ada sekuku hitam saja.

Al-Qur’an menyatakan fungsi penting kekuasaan, yaitu menolong. Sama-sama menolong, tanpa kekuasaan, orang juga bisa menolong. Dengan harta kekayaan, misalnya. Namun, jika dibandingkan antara kekuasaan dengan harta kekayaan, implikasi sesungguhnya sangatlah tidak sebanding. Seseorang dengan harta kekayaan, memang bisa menolong orang lain, tetapi dengan jumlah yang sangat terbatas. Namun, tidak demikian dengan kekuasaan, karena padanya ada alat ruda paksa berupa aparat. Karena itu, seorang filsuf mengatakan bahwa dengan harta kekayaan, seseorang bisa menolong sedikit/banyak orang. Dengan kekuasaan, seseorang bisa menolong semua orang/warga negara.

Baca Juga  Pembangkit Etos Kerja

Karena fungsi penting itulah, Nabi Muhammad sampai diperintahkan untuk berdo’a memilikinya.

وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا

Dan katakanlah: “Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong. (al-Isra’: 80).

Dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad, kekuasaan juga sangat nampak signifikansinya. Saat Nabi Muhammad berdakwah secara kultural saja di Makkah, dalam waktu tiga belas tahun, pengikut Nabi Muhammad hanya sedikit saja. Bahkan kemudian harus terusir dari kampung halaman yang sangat dicintainya. Namun, di tempat barunya, Nabi Muhammad mendapatkan kesempatan untuk berkuasa. Suku-suku di Madinah menjadikannya sebagai pemimpin dalam arti yang seluas-luasnya, baik dalam makna spriritual maupun juga politik. Memang bisa dibilang bahwa bagi suku-suku asli Yatsrib, motif mereka menjadikan Nabi Muhammad sebagai pemimpin politik adalah karena ia adalah seorang nabi. Kenabian itulah yang mereka harapkan akan memperkuat mereka agar tidak lagi didominasi oleh kaum Yahudi karena memiliki kitab suci.

Karena perjuangan di Madinah bisa dilakukan dengan dua cara, kultural dan struktural sekaligus, pemeluk Islam bertambah secara sangat signifikan. Bahwa baru sewindu, Nabi Muhammad berhasil menaklukkan Makkan tanpa perlawanan. Sebab, jumlah tentara Nabi Muhammad kira-kira tiga kali lipat dibandingkan jumlah penduduk Makkah.

Kesadaran berkekuasaan inilah yang nampaknya juga dimiliki oleh Nabi Sulaiman, sehingga dia bahkan berdo’a agar Allah memberikan kepadanya kekuasaan yang sangat besar.

Baca Juga  Pemahaman Salah tentang Jahiliyah

قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

Ia berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi”. (Shad: 35)

Istilah menolong juga bisa dimaknai secara lebih luas, di antara sebagaimana al-Qur’an menggunakannya, di antaranya “menolong Allah”. Istilah ini digunakan tidak hanya sekali oleh al-Qur’an. Dan penggunaannya juga dalam konteks umum dan khusus. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (Muhammad: 7).

Dalam konteks kasus khusus, al-Qur’an mengangkat kasus Nabi Isa as., yaitu:

فَلَمَّا أَحَسَّ عِيسَىٰ مِنْهُمُ الْكُفْرَ قَالَ مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللَّهِ ۖ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?” Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri. (Ali Imran: 52).

Menolong dengan kekuasaan, baik menolong dalam makna konotatif maupun denotatif, bisa ditangkap dalam QS. Shad: 26.

يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ

Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. (Shad: 26)

Baca Juga  MENINGKATKAN DIRI MENJADI SOCIOPRENEUR

Menolong dalam makna denotatif dalam ayat di atas adalah menolong rakyat untuk mendapatkan keadilan, termasuk juga dengan kebijakan-kebijakan politik yang membuat seluruh rakyat mendapatkan hak-hak mereka. Makna konotatifnya adalah memperjuangkan ketetapan-ketetapan Allah sebagai kebijakan politik kenegaraan, sehingga hukum-hukum Allah menjadi tegak dan terbukti sebagai jalan terbaik bagi seluruh aspek kehidupan manusia. *

Dr. Mohammad Nasih, M.Si.
Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pembangun Qur’anic Habits di Rumah Perkaderan MONASH INSTITUTE Semarang dan Sekolah Alam Planet NUFO Pilanggowok Mlagen Rembang.

    Cinta Kasih Muhammad SAW dan Kebengisan Jengis Khan

    Previous article

    Refleksi Akhir Tahun

    Next article

    You may also like

    Comments

    Ruang Diskusi

    More in Kolom