Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Rumah Perkaderan-Tahfidh al-Qur’an Monash Institute dan Pesantren-Sekolah Alam Planet NUFO Mlagen Rembang. Pengajar di FISIP UMJ dan Pascasarjana Ilmu Politik UI

Selama masa pandemi Covid-19, karena tidak diizinkan oleh dokter-dokter di rumah untuk kembali ke Jakarta, saya memanfaatkannya untuk memberikan perhatian lebih kepada Planet NUFO. Monash Institute Semarang relatif sudah bisa berjalan secara auto karena mahasantrinya adalah mahasiswa, dan sudah banyak mentor senior dari angkatan awal dan berpendidikan master bahkan doktor yang mendedikasikan diri untuk turut mendidik.

Dalam sepekan, dua kali saya mengunjungi pesantren dan sekolah alam yang saya dirikan bersama Ketua KAHMI Rembang, Arif Budiman. Waktu tempuh dari Monash Institute di Semarang ke Planet NUFO di Rembang antara 2,5 sampai 3,5 jam. Biasanya, waktu untuk perjalanan itu saya gunakan untuk menyimak hafalan dua atau tiga mahasantri yang memiliki kemampuan hafalan dan pemahaman di atas rata-rata.

Dengan aktivitas ini, waktu 6 jam pergi-pulang Semarang-Rembang tidak terbuang percuma. Karena pandemi ini juga menyebabkan anak-anak saya tidak sekolah, maka saya sering mengajak mereka. Dan mereka pun senang, karena di kampung mereka bisa bermain dengan lebih leluasa dengan berbagai macam mainan tradisional, sampai ikut menggembala para santri.

Di perjalanan, saya bisa lebih intensif berbicara dan mengajari mereka sebelum kemudian terlelap oleh guncangan kendaraan.

Akhir pekan lalu, sebagaimana biasa, anak-anak saya ikut serta. Molka, anak ketiga saya yang baru berusia 3 tahun, dengan sangat ceria menyanyi lagu apa saja yang sudah dia hafal dengan lidah cedalnya. Setiap kali ada pemandangan yang menurutnya tidak biasa, selalu menanyakannya sampai-sampai membuat saya kelelahan menjawabnya. Sebab, setiap jawaban yang saya berikan akan terus ditanyakan lagi: kenapa, apa, dan di mana?

Baca Juga  Pemilu Tidak Langsung dan Jabatan Presiden Diperpanjang?

Saya kemudian mengalihkan perhatiannya untuk “menyanyikan” materi dalam pelajaran sharaf. Saya bilang bahwa itu menyanyi dan membersamainya agar kegembiraannya tetap. Saya ajak dia untuk melafalkan dlamir huwa, huma, hum, sampai nahnu.

Awalnya beberapa kata ganti itu dia baca secara salah, dan tidak hafal urutannya. Setelah saya betulkan, hanya butuh beberapa kali saja sudah benar. Tinggal membuat dia hafal urutannya secara tepat. Saya makin bersemangat mengajaknya mengulang, karena setiap beberapa kali pengulangan, ada perbaikan.

Saya kemudian memvideokan nyanyian kami, sehingga Molka bisa melihat dan mendengarkannya secara berulang-ulang. Melihat gambar dan suara kami berdua, dia senang sekali, dan memutar ulang video itu, berulang-ulang.

Sampai ketika masuk jalan lingkar Kudus, Molka sudah mengucapkan seluruh dlamir munfashil dengan benar. Saya memujinya, sehingga dia senang. Namun, ketika saya minta mengulang lagi, dia justru menyengaja untuk mengucapkannya secara salah dan ketika agak saya desak, dia mengatakan “aku nggak biha”. Karena dia masih cedal, dan tidak bisa mengucapkan huruf S yang hidup, maka sa diucapkan dengan ha.

Tiba-tiba saya dapat inspirasi untuk membuatnya mau melakukan apa yang saya inginkan. Saya tahu, dia sangat suka buah rambutan. Dan di rambu yang tak lama lagi akan kami lewati, ada penjual rambutan.

Dan benar. Di rambu pertama jalan lingkar Kudus itu terlihat dua orang menawarkan buah berambut merah itu. Saya langsung membeli dua ikat rambutan dengan harga yang tergolong masih tinggi, karena memang belum musim panen.

Baca Juga  Mengisi Kemerdekaan dengan Gotong Royong Kebangsaan

Alat pemicu Molka sudah di tangan saya. Dan saya bilang bahwa saya akan mengupaskan untuknya hanya jika dia mengucapkan dlamir-dlamir yang saya ajarkan secara berurutan dengan benar. Katena ingin merasakan manisnya rambutan, akhirnya dia mau mengikuti keinginan saya. Sambil tersenyum manja, dia bisa mengucapkannya dengan benar.

Saya memujinya dan memasukkan daging buah rambutan yang sudah saya pisahkan dari bijinya. Dan itu saya ulang sampai belasan kali untuk memastikan bahwa dia benar-benar bisa, bukan sekedar kebetulan.

Jika setiap anak kita mendapatkan pelajaran alat untuk bisa memahami Islam ini, maka anak-anak kita akan memperoleh kemudian saat nalarnya sudah berkembang. Sebab, sharaf ini adalah alat paling fundamental untuk bisa menguasai teks Arab yang merupakan bahasa al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad saw.

Karena otak anak kecil bagaikan busa yang menyerap apa saja, tentu sangat penting untuk memasukkan sesuatu yang menjadi modal untuk pengetahuan selanjutnya dan selamanya. Dan al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad adalah kebutuhan yang niscaya diperlukan sepanjang hayat.

Jika orang tua menyadari ini, dan mau agak serius untuk melakukannya, sesungguhnya usahanya tidak sulit. Setelah itu, orang tua bisa memilihkan lembaga pendidikan yang bisa memfasilitas pengembangan penguasaan kepada ajaran, baik sekolah maupun pesantren yang benar-benar dikelola dengan baik. Bukan asal sekolah dengan nama Islam atau papan nama pesantren. Juga bukan lembaga pendidikan yang asal mahal.

Mengenai nyanyian anak-anak pun, saya melakukan banyak pembetulan untuk memastikan logika anak benar. Misalnya, lagu kereta api itu sesungguhnya mengandung kesalahan logika yang sangat perlu dibetulkan, yaitu:

Baca Juga  Pemahaman Salah tentang Jahiliyah

Naik kereta api. Tut tut tut. Siapa hendak turut? Ke Bandung, Surabaya. Bolehlah naik dengan percuma.”

Tentu ini tidak baik untuk pembangunan karakter anak. Sebab, naik kereta api tentu saja harus beli tiket dulu, dan bayar. Maka saya ganti, bolehlah naik asalkan bayar. Tidak hanya itu. Ternyata masih ada lirik yang tidak logis, yaitu: “Ayo kawanku lekas naik. Keretaku tak berhenti lama.” Kereta tak berhenti tentu bahaya jika dinaiki. Maka kalimat itu harus diperbaiki dengan “Keretaku berhenti tak lama”.

Masih banyak lagu anak-anak yang secara substansi berpotensi besar menyebabkan kesesatan cara berpikir dan konstruksi paradigma. Karena itu, masa pandemi ini harus dilihat dari sisi lain, terutama dalam konteks untuk mendidik anak anak secara lebih intensif. Dan kemampuan untuk itu sesungguhnya menjadi salah satu tolak ukur kekuatan dan ketahanan keluarga, terutama keluarga religius yang membutuhkan banyak asupan materi; bukan hanya untuk kehidupan dunia, tetapi juga sesudahnya, akhirat. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Dr. Mohammad Nasih, M.Si.
Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pembangun Qur’anic Habits di Rumah Perkaderan MONASH INSTITUTE Semarang dan Sekolah Alam Planet NUFO Pilanggowok Mlagen Rembang.

    Jual beli Amalan Sunnah

    Previous article

    Keadilan dan Kesetaraan Peran dalam Ranah Publik-Domestik

    Next article

    You may also like

    Comments

    Ruang Diskusi