Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengajar di FISIP UMJ dan Pascasarjana Ilmu Politik UI, Guru Utama di Rumah Perkaderan MONASH INSTITUTE Semarang, Pengasuh Pesantren dan Sekolah Alam Planet NUFO Rembang.
Liberalisasi sebagai sebuah “proyek berbiaya” di Indonesia telah dihentikan. Pendanaannya sudah tidak lagi dikucurkan seperti dulu. Bukan karena gagal, melainkan justru karena liberalisasi di Indonesia sudah sukses besar. Sebab itulah, proyek liberalisasi itu sudah tidak diperlukan lagi.
Bagi orang yang tidak mendalami al-Qur’an dan hadits, gagasan-gagasan kalangan yang menyebut diri sebagai muslim liberal akan menimbulkan dua pandangan, yaitu: kekaguman dan kebingungan. Kekaguman muncul karena seolah gagasan-gagasan liberal itu sangat progresif dan penting untuk memicu dan memacu kemajuan umat Islam yang sebelumnya memang tertinggal. Di samping juga karena fanatisme kelompok, karena figur-figur liberal itu memiliki kesamaan identitas sosio kultural.
Kebingunan muncul karena pandangan kaum liberal itu berbeda dengan perspektif yang mereka terima tentang hal-hal yang terbilang fundamental. Namun, mereka tidak bisa membangun argumentasi sendiri untuk menangkal argumentasi kaum liberal. Terutama karena sebagian besar kaum liberal justru beridentitas santri yang jejak pernah tinggal di pesantren yang khas dengan penguasaan khazanah intelektual Islam. Karena identitas kesantrian itulah, seolah-olah argumentasi mereka didasarkan kepada kaidah yang benar. Padahal, banyak sekali argumentasi mereka lahir dari kegagalan pemahaman disebabkan tidak komprehensif memahami ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang kesemuanya memiliki interkoneksi, latar belakang, dan rasa bahasa.
Di antara isu penting yang merela mengalami gagal paham adalah:
Pertama, ayat yang tidak sesuai realitas. Kalangan liberal sangat bersemangat untuk melakukan telaah kritis terhadap ayat-ayat. Dan kritisisme mereka sampai pada pandangan bahwa jika ada ayat yang tidak sesuai dengan realitas, maka harus ditafsirkan ulang. Pendekatan ini, oleh Ulil Abshar Abdalla disebut pendekatan progresif. Tentu saja penamaan ini tidak tepat. Karena ini adalah pendekatan yang tidak tepat. Dan itu dibuktikan dengan perubahan pandangannya sendiri setelah cukup lama mendakwahkannya secara antusias.
Memang tidak semua ayat bisa langsung dipahami secara apa adanya. Diperlukan konteks yang meliputi sejarah dan latar belakang, rasa bahasa, interkoneksi dengan ayat lain atau hadits, dan lain-lain yang akan membantu menghasilkan pemahaman yang tepat. Jika ayat-ayat sudah dipahami dengan segala perangkat itu, maka hasil istinbathnya hadus dijadikan sebagai pegangan. Jika realitas tidak sesuai dengannya, maka realitaslah yang harus mengikuti. Ketentuan Allah amam, bukan justru menjadi ma’mum. Sebab kitab Allah adalah panduan bagi seluruh umat manusia.
Kedua, hubungan antara Islam dengan politik. Kaum liberal ingin menjadikan Islam seperti Katholik di Eropa. Padahal keduanya memiliki pengalaman yang sangat berbeda. Di Eropa, antara kekuasaan yang integralistik dengan gereja pernah digunakan untuk mengeksekusi para saintis. Inilah yang memantik kaum saintis melakukan perlawanan sampai kemudian mereka menuntut pemisahan antara agama dengan negara. Religio-integralisme Catholic yang sebelumnya sangat otoritatif, kemudian harus berakhir.
Negara yang sebelumnya didasarkan pada agama, kemudian didasarkan kepada bangsa yang kemudian terkenal dengan negara-bangsa (nation-state). Sedangkan di dalam Islam, sejak awal, para penguasa juga adalah ilmuan-ilmuan yang canggih. Harun al-Rasyid dan terutama lagi puteranya, al-Ma’mun, telah menjadi nama yang diidentikkan dengan puncak kejayaan peradaban Islam. Justru karena Islamlah mereka mendapatkan kejayaan yang menjulang. Kemunduran dunia Islam tidak lain disebabkan oleh sikap kaum muslim yang justru meninggalkan ajaran Islam.
Ketiga, penggunaan dalil ayat untuk kebebasan beragama. Kaum liberal seringkali mengkritik pendekatan literalis yang mereka anggap sebagai penyebab “fundamentalisme”. Tentu ini istilah yang tidak tepat juga digunakan, karena konotasinya negatif. Namun, tiba-tiba mereka juga menjadi sangat literalis dan memahami ayat secara sepotong untuk membangun dan menguatkan wacana kebebasan beragama.
Di antara penggalan ayat yang mereka sebut adalah: “Tidak ada paksaan dalam agama” (Ali Imran: 256). Padahal lanjutan ayat ini masih cukup panjang, menjelaskan tentang betapa jelasnya kebenaran dan kesesatan, lalu memuji pilihan untuk beriman kepada Allah secara benar.
Lengkapnya adalah, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Ali Imran: 256).
Contoh lain gagal paham dalam kasus ini adalah karena memenggal sebuah frase dalam al-Kahfi: 29. “Barang siapa menginginkan, maka hendaklah dia beriman. Dan barang siapa menginginkan, maka hendaklah dia mengingkari”. Padahal frase ayat yang berada di tengah itu didahului oleh pernyataan tegas dan diakhiri dengan ancaman tegas.
“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) hendaklah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (al-Kahfi: 29).
Keempat, pluralisme agama. Gagal paham ini disebabkan oleh pemahaman literal lagi, terutama al-Baqarah: 62 dan al-Maidah: 69.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (al-Baqarah: 62).
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (al-Maidah: 69).
Jika kaum liberal konsisten bahwa makna substansial haruslah ditarik berdasarkan asbab al-nuzul, maka mereka tidak akan keliru memahami ayat ini. Sebab, al-Baqarah: 62 turun karena pertanyaan sahabat Salman al-Farisi yang menyampaikan tentang beberapa orang yang telah beriman kepada Allah dan bahkan telah beriman kepada akan diutusnya seorang rasul terakhir, tetapi mereka telah meninggal sebelum menyaksikan kerasulan Nabi Muhammad. Karena pertanyaan itulah, maka turun ayat ini. Ini persis seperti kasus para sahabat yang sebelumnya shalat menghadap Baitul Maqdis dan tidak menyaksikan perpindahan qiblat ke Ka’bah. Karena pertanyaan tentang para sahabat yang sudah meninggal sebelum perpindahan qiblat ke Ka’bah, maka turunlah ujung ayat al-Baqarah: 143.
“… Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (al-Baqarah: 143).
Kelima, humanisme. Humanisme adalah ajaran berbuat baik kepada sesama umat manusia. Paham ini diangkat seolah di dalam Islam tidak ada ajaran tentang dorongan untuk berbuat baik kepada sesama manusia. Justru Islam mengajarkan secara sangat lengkap bahwa hubungan baik kepada sesama manusia itu juga didasarkan kepada iman kepada Allah.
Dengan demikian, kepentingan-kepentingan pribadi tidak mengemuka. Kebaikan yang dilakukan kepada sesama manusia dilakukan dalam kerangka ikhlas hanya karena Allah, bebas dari pamrih yang bisa mengganggu keberlanjutannya. Bahkan tanpa hubungan yang baik kepada sesama manusia, maka yang akan terjadi adalah kehinaan. Perspektif ini sangat rasional, mengingat manusia adalah makhluk sosial yang tidak akan mungkin memperoleh capaian gemilang tanpa kerjasama dan sinergi dengan banyak orang.
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” (Ali Imran: 112).
Kegagalan dalam memahami teks-teks doktrin tersebut nampaknya lebih disebabkan oleh rasa inferior mereka saja. Ini mirip dengan Musthada Kemal Attaturk yang mengcopy paste Barat, sampai kepada cara berpakaian, untuk menghela yang disebutnya dengan kemajuan dan kemoderan.
Mirip dengan itu, kaum liberal ingin memaksakan wacana-wacana yang lahir dan berkembang di lingkungan sekuler, bahkan konsepsinya untuk memperkokoh isme sekuler, ke dalam masyarakat muslim. Sedangkan muslim memiliki paradigma sendiri yang bahkan memasukkan elemen niat pusatnya di dalam hati. Padahal elemen niat ini sama sekali tidak pernah menjadi pokok bahasan dalam paradigma sekular.
Dengan kata lain, motif dalam sebuah tindakan tidak penting. Yang penting adalah penampakannya. Sedangkan di dalam Islam, penampakan baik sebuah tindakan, akan bernilai baik atau buruk, juga tergantung pada niatnya. Bahkan shalat yang didasarkan pada motif riya’, bisa menyebabkan pelakunya mendapatkan kecelakaan di sisi Allah Swt.. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Comments