Signifikansi Kaderisasi Kaum Muda Islam
Baladena.ID

Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Rumah Perkaderan MONASH INSTITUTE Semarang, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ.

Salah satu keunggulan manusia dibanding makhluk lain adalah kemampuan berpikir. Baik kaum beragama maupun yang tidak beragama, menjadikan akal sebagai keutamaan. Dalam Islam, akal yang sehat merupakan salah satu prasyarat seseorang bisa disebut sebagai mukallaf alias yang memiliki kewajiban menjalankan syari’at.

Akal merupakan sarana paling penting untuk bisa memahami wahyu. Dengan akal yang diberdayakan secara optimal, manusia akan memahami bahwa Islam, karena otentisitasnya, adalah agama yang benar, yang karena itu sumber ajarannya dipandang sebagai sumber ajaran kebenaran.

Sedangkan mereka yang tidak beragama, menjadikan akal sebagai sumber kebenaran itu sendiri. Bahkan sampai muncul paham rasional atau rasionalisme karena menjadikan rasio sebagai sumber kebenaran. Kebenaran rasio dianggap lebih tinggi dibandingkan kebenaran berbasis pengamatan dengan pancaindera. Sebab, dalam banyak kasus, pancaindera ternyata menipu.

Karena perbedaan cara pandang itu, maka lahirlah berbagai paham yang berbeda,  atau bahkan bertengangan. Padahal jika ada dua atau lebih sesuatu yang berbeda, maka sejatinya hanya ada dua saja kemungkinan, yaitu: semuanya salah, atau salah satu saja yang benar. Karena itu, diperlukan sistem kaderisasi yang bisa melahirkan para kader yang tangguh dimulai dari pikiran sampai memperjuangkannya dalam aksi nyata.

Kader secara kebahasaan berasal dari bahasa Yunani cadre, berarti kerangka, bingkai, atau figura. Secara istilah, karena yang melakukan upaya kaderisasi biasanya adalah organisasi, maka kader sering diartikan sebagai tulang punggung organisasi, sehingga bisa tetap hidup dengan berdiri tegak, tidak bengkok. Membuat tegak, tidak bengkok, itu pulalah fungsi figura atau kerangka bagi kertas tipis yang ada di dalamnya.

Baca Juga  Planet Nufo Siapkan Penyelenggaraan Kurban Sesuai Protokol Kesehatan

Jadi, kaderisasi adalah proses untuk membuat anggota organisasi masih lemah ide di antaranya karena minim wawasan menjadi kuat. Karena itu, materi pertama dan utama kaderisasi biasanya adalah ideologi. Para anggota baru harus memahami kerangka berpikir tertentu agar imune dari ideologi-ideologi lain, terutama yang jelas-jelas dinilai keliru (baca: sesat).

Jika proses kaderisasi berhasil, maka akan lahir kader-kader yang juga akan melakukan kaderisasi untuk menghasilkan kader generasi selanjutnya. Dengan cara inilah, sebuah ideologi akan bisa terjaga. Terutama, ia akan diperjuangkan dalam kehidupan nyata karena ada aktornya. Namun, jika kaderisasi berhenti, maka sebuah ideologi sesungguhnya telah mati. Jika pun masih dikenal, ia hanya tinggal di atas kertas, karena ia hanyalah utopia. Ideologi yang benar dan baik adalah ideologi yang tidak hanya bisa diimplementasikan dalam kehidupan nyata, tetapi juga membawa kebaikan yang hakiki bagi umat manusia.

Kaderisasi bagi kaum muda muslim sangat diperlukan karena saat ini makin banyak ideologi yang sepintas cukup menarik, tetapi sejatinya menyesatkan. Di antara yang sangat halus merasuki pikiran mereka adalah pluralisme agama, sekularisme (politik), feminisme, dan humanisme.

Paham pluralisme telah menyebabkan tidak sedikit muslim terjerumus kepada pandangan menyamakan derajat Islam yang tinggi karena otentisitasnya terjaga sampai kapan pun dengan al-Qur’an yang terjaga dengan agama-agama lain yang jelas-jelas telah mengalami tahrif atau pengubahan oleh pemuka-pemuka agama mereka sendiri karena kepentingan duniawi mereka. Bahkan ini terjadi di kalangan kaum intelektual dengan status formal muslim, juga mengajar di lembaga-lembaga berstempel Islam.

Kaderisasi bagi kaum muda muslim sangat diperlukan karena saat ini makin banyak ideologi yang sepintas cukup menarik, tetapi sejatinya menyesatkan.

Sekularisme yang secara spesifik dalam aspek politik adalah paham karena sekedar menjiplak gagasan dan praktik politik di Barat Eropa. Tidak ada kritisisme bahwa paham dan praktik ini lahir karena penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh elite gereja. Dua kekuasaan, yakni agama dan politik, yang berada dalam satu pihak, telah menyebabkan penyelewengan yang membahayakan ilmu pengetahuan. Karena itulah, pada ilmuan kemudian menggelorakan gagasan pemisahan antara agama (Katolik) dengan negara.

Baca Juga  Wahai Pemimpinku! Kau Temanku? Atau Musuhku?

Relasi agama-negara dalam konsepsi teokrasi dalam konteks relogiointegralisme Catholic saat itu harus diubah. Negara tidak boleh lagi didasarkan kepada agama. Sebagai penggantinya adalah bangsa (Inggris: nasion). Dari sinilah muncul konsepsi nasionalisme sebagai konsepsi yang awalnya sekuler sesuai dengan tujuannya. Namun, ini mudah dipahami karena agama yang dijadikan sebagai dasar adalah agama yang salah, karena telah diubah. Karena itu, sesungguhnya konsepsi ini tidak cocok diberlakukan dalam konteks Islam.

Feminisme yang menginginkan agar laki-laki dan perempuan dianggap sama merupakan paham yang sesugguhnya tak kalah membahayakan. Sebab, karena paham ini, baik laki-laki maupun terutama perempuan kemudian meninggalkan tugas-tugas atau peran-peran yang mestinya bisa dilaksanakan dengan optimal karena sesuai dengan fitrah yang diberikan Allah.

Humanisme merupakan paham yang paling halus merasuk. Padahal sesungguhnya ini merupakan turunan dari ateisme. Karena menganggap Tuhan tidak ada, maka yang dijadikan pusat kemudian adalah manusia. Tentu saja ini adalah kesesatan yang juga fatal. Sebab, kemanusiaan yang tidak didasarkan pada ketuhanan, maka ia ibarat fatamorgana belaka.

Kesesatan-kesesatab itu terjadi karena dua hal,  yaitu: penguasaan kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad lemah dan/atau orientasi duniawi yang mengemuka.

Ketertarikan mereka tanpa sadar kepada ideologi-ideologi sesat tersebut persis sebagaimana gambaran Nabi Muhammad dalam sebuah hadits:

“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang biawak, pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata: “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab: “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim).

Baca Juga  Menghafal Al-Qur'an dengan Metode Planet Nufo-Monash Institute

Dalam al-Qur’an, kedua kelompok tersebut juga disebut sebagai yang dimurkai dan sesat nan menyesatkan. Karena itu, jika kedua kelompok tersebut diposisikan sebagai analog,  maka pandangan-pandangan lain yang sesat, yang tentu saja menyebabkan kemurkaan Allah, bisa dinilai sama.

Karena itulah pula, diperlukan upaya sengaja, terstruktur, dan sistematik untuk melakukan kaderisasi terutama bagi kaum muda belia, agar mereka tidak tersesat dan berputar-putar dalam kebingungan yang tidak perlu. Kaderisasi dengan tahapan awal menguatkan ideologi yang benar dan bisa dipahami secara meyakinkan,  akan membuat mereka menjadi lebih produktif sejak muda, sehingga mampu menghasilkan karya-karya yang lebih bermakna. Wallahu a’lam bi al-shawab.

‘The Black Death’ yang Tak Lagi Black: Pandemik Bukanlah Lelucon

Previous article

Lockdown Itu Berat; Tapi Harus! 

Next article

You may also like

Comments

Ruang Diskusi

More in Kolom