Oleh: Dr. Mohammad Nasih
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pengasuh Rumah Perkaderan dan Tahfidh al-Qur’an.
Keberhasilan menjadi pengusaha merupakan sebuah capaian di atas rata-rata. Sebab, menjadi pengusaha memerlukan kemampuan untuk melihat peluang dan mengorganisir banyak orang. Keberhasilan menjalankan prinsip pengeluaraan yang sesedikit mungkin dengan pendapatan yang sebanyak mungkin menjadi kata kunci untuk berhasil. Dalam konteks-konteks ini, Karl Marx melihat bahwa para buruh atau pekerja terealienasi dari hasil kerjanya sendiri. Belasan abad sebelumnya, Nabi Muhammad dengan lebih tegas menyatakan: “Kalian ditolong dan diberi rizki oleh kaum lemah di antara kalin”. Sebab, tanpa adanya kaum lemah yang dipekerjakan, maka tidak akan ada produksi yang dihasilkan oleh para pengusaha.
Pengusaha an sich sejatinya adalah orang yang tidak mau menderita kerugian. Mereka hanya mau melakukan sesuatu dengan motif untuk mendapatkan keuntungan. Karena itu, hubungan antara pengusaha dengan para karyawan atau buruhnya sesungguhnya bukan hubungan antara orang yang menolong dan yang ditolong. Bahkan dalam banyak kasus, para pengusaha melakukan eksploitasi terhadap para buruh atau pekerja. Para buruh bahkan seringkali tidak mendapatkan hak-hak dasar sebagai manusia, dan naifnya itu didesain sendiri oleh orang yang mendapatkan keuntungan besar. Bahkan keengganan itu bukan karena mereka akan menderita kerugian, melainkan karena keuntungan kaum borjuis itu akan sedikit berkurang.
Berdasar kenyataan di atas, maka dengan menggunakan perspektif yang komprehensif, pengusaha tidak bisa disebut sebagai orang yang lebih mulia dibandingkan kaum buruh. Apalagi jika dilihat lebih jauh lagi bahwa seorang pengusaha tidak akan pernah mau jika para buruh menjadi lebih berdaya. Sebab, jika mereka mengalaminya, maka mereka akan mengalami kesulitan. Jika buruh sadar posisi mereka, maka mereka akan melakukan negosiasi yang dikhawatirkan oleh para pengusaha sebagai penyebab instabilitas dalam proses produksi. Apalagi jika ada buruh yang kemudian memiliki kemampuan untuk berubah menjadi pengusaha, maka pengusaha lama akan menemukan pesaing baru. Dengan adanya pesaing baru, maka proses persaingan berikutnya di pasar akan menimbulkan keseimbangan baru dengan implikasi harga hasil produksi menjadi menurun. Itu berarti, keuntungan akan mengalami penurunan.
Berbeda dengan pengusaha, seorang entrepreneur tidak khawatir dengan adanya pengusaha sebanyak apa pun. Sebab, dia memiliki kemampuan lebih tinggi dengan melakukan berbagai inovasi yang menempatkannya memiliki nilai yang berbeda dan terbaik. Namun, orientasinya masih tetap untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri. Perbedaan antara seorang pengusaha dengan entrepreneur terletak pada kemampuannya dalam melakukan cara-cara baru yang lebih kreatif dan inovatif. Jika pengusaha hanya bisa melihat keuntungan dalam satu celah, entrepreneur bisa melihat potensi keuntungan pada lebih dari satu celah. Karena itu, seorang entrepreneur bisa membangun sinergi antara dua celah potensial tersebut. Dengan demikian, keuntungan yang bisa didapatkan menjadi lebih besar lagi.
Dalam aspek tujuan, antara pengusaha dengan entrepeneur sesungguhnya tidak berbeda. Yang mereka kejar sama-sama keuntungan material. Nilai lebih entrepreneur hanya terletak kepada potensinya mendapatkan hasil yang lebih besar, karena memiliki kemampuan untuk lebih kreatif dan inovatif karena melihat peluang-peluang lain yang pada umumnya tidak dilihat oleh pengusaha.
Ada sebuah contoh menarik untuk lebih memahami perspektif ini. Seorang yang kaya raya sedang dalam perjalanan pulang dengan mobil keluaran terbarunya. Di sebuah rambu lalu lintas, sopirnya menghentikan mobil karena lampu merah menyala. Saat menoleh ke arah kanan di pinggir jalan terlihat seorang ibu yang biasanya meminta-minta dan seorang anaknya sedang dengan makan rumput yang tumbuh di sana. Dengan cepat, dia membuka jendela mobilnya dan memanggil ibu itu untuk naik ke mobilnya dan ikut ke rumahnya. Orang kaya itu meminta anaknya diajak serta. Si ibu yang baru kali itu mendapatkan sapaan ramah itu, langsung mengatakan bahwa dia memiliki dua anak yang lain tak jauh dari tempat itu. Si kaya menanyakan apakah kedua anaknya itu juga makan rumput? Dengan cepat si ibu mengiyakan. Dengan cepat, orang kaya itu menyuruhnya untuk segera mengajak dua anaknya yang lain itu. Dengan riang mereka semua naik mobil mewah dengan angan-angan melambung akan diberi makan enak di rumah pemilik mobil mewah itu. Tidak lama kemudian, mobil sampai di depan rumah besar. Setelah memasuki gerbangnya, terlihat halamannya luas, ditumbuhi rerumputan hijau yang sudah meninggi. Setelah keluar dari mobil, orang kaya itu mengatakan kepada ibu miskin dan anak-anaknya untuk memakan rumput di seluruh halaman rumahnya sampai habis. Sang ibu dan anak-anaknya saling pandang, dan seketika itu harapan makan enak hilang.
Rupanya pembantu yang biasanya memotong rumput di halaman rumah itu sudah beberapa bulan meninggal dan orang kaya itu sedang kesulitan untuk mendapatkan penggantinya. Orang-orang miskin yang dilihatnya di pinggir jalan sedang makan rerumputan itu dilihatnya sebagai kesempatan untuk melakukan sinergi, karena dia sedang membutuhkan pembersih rumput, sedangkan mereka membutuhkan rumput untuk makan, bukan sebagai orang-orang yang terpaksa melakukannya.
Karena itulah, diperlukan adanya sociopreneur yang benar-benar memiliki kemurnian niat untuk membantu orang lain menjadi berdaya dan bisa bersama-sama memberdayakan lebih banyak orang. Seorang sociopreneur tidak menggunakan kalkulasi untung-rugi sebagai motif untuk melakukan aktivitas. Tentu saja, seorang siciopreneur hanya mungkin bisa melakukannya jika telah memiliki kemampuan melebihi level entrepreneur. Sebab, untuk melakukan sociopreneurship diperlukan pembiayaan yang jauh lebih besar bahkan bisa dikatakan unlimited. Nilai lebih seorang sociopreneur dibanding entrepreneur teletak pada nilai-nilai yang dipercayai, yang tentu saja itu bersifat immaterial. Seorang sociopreneur hanya menginginkan terjadi perubahan masyarakat menjadi lebih baik.
Tentu saja, seorang sociopreneur memiliki basis nilai yang ia pegang teguh. Membantu orang lain tidak dimaksudkan untuk mendapatkan kenikmatan material bagi diri sendiri, melainkan untuk mewujudkan kebaikan bersama sebagaimana ada dalam nilai-nilai luhur yang dianutnya. Bahkan untul mewujudkan itu, seorang sociopreneur bisa menjalani kehidupan yang bagi kebanyakan orang bisa dianggap sebagai penderitaan. Namun, seorang sociopreneur sejati, penderitaan yang dialami itu justru dirasakannya sebagai sebuah kebahagiaan.
Nabi Muhammad merupakan contoh paling paripurna seorang sociopreneur. Sebab, dengan seluruh harta kekayaannya, ditambah dengan kekayaan istrinya yang merupakan pedagang terkaya saat itu, ia melakukan upaya-upaya untuk mewujudkan masyarakat ideal sebagaimana panduan al-Qur’an. Seluruh kekayaan yang mereka miliki memang habis, bahkan Nabi Muhammad meninggal saat baju besinya masih tergadai pada seorang Yahudi. Namun, dengan seluruh pengorbanannya itu, Nabi Muhammad berhasil membangun sebuah tatanan sosial yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Bahkan tidak sedikit ilmuan sosial modern Barat menyebut bahwa kemajuan yang Nabi Muhammad hasilkan itu jauh melampaui zamannya. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Comments